Tuesday, June 08, 2004

Le Cerf-Volant

Le Cerf-Volant

Le Cerf-VolantPekan kemarin gw nonton beberapa film di Festival Sinema Perancis. Buat yang hollywood minded mungkin film-film Perancis tidak terlalu menarik, tapi buat gw film-film alternatif (non-hollywood) itu asiik buat ditonton. Ide dan alur ceritanya itu lah yang bikin gw tertarik.

Salah satu film yang gw tonton adalah Le Cerf-Volant (Layang-layang), sebuah film garapan perempuan Lebanon, Randa Chahal Sabbag, yang disponsori oleh pemerintah Perancis. Film yang memperoleh penghargaan Grand Prix du Jury pada Festival Film Venezia 2003.

Film ini berlatar belakang sebuah desa di Lebanon selatan yang terbagi dua setelah Israel menduduki sebagian wilayahnya. Pendudukan itu tentu membawa sejumlah kerumitan. Desa itu kini dipisahkan oleh sebuah batas kedaulatan antar negara. Sebuah perlintasan yang menjadi satu-satunya jalur penghubung dipagari oleh kawat berduri serta ditaburi ranjau dan diawasi oleh tentara Lebanon dan Israel. Penduduk di kedua wilayah, yang umumnya masih berhubungan kerabat, hanya bisa melintasi batas tersebut *secara legal maksudnya* dengan dua cara: sebagai pengantin atau jenazah. Komunikasi verbal antara kerabat yang berdiam di wilayah berbeda harus dilakukan dalam jarak sekitar satu kilometer. Tiap keluarga datang ke pos penjagaan di masing-masing wilayah, kemudian berteriak dengan menggunakan megafon alias toa.

Di bagian desa yang termasuk wilayah Lebanon, Lamia putri Shirin sudah memasuki usia 16. Ia sudah waktunya menikah. Sesuai tradisi, ia dijodohkan dengan sepupunya, Samy, putra bibinya Mabruke. Masalahnya, keluarga Mabruke tinggal di wilayah Lebanon. Kedua remaja yang lahir setelah pendudukan tidak pernah bertemu. Perkenalan pertama mereka terjadi melalui video yang dikirimkan oleh keluarga masing-masing.

Masalah lain, Lamia tidak mau menikah. Ia masih ingin bermain layang-layang dengan adiknya, dan melanjutkan studi. Demikian juga dengan Samy. Keduanya tidak saling mencintai. Tetapi keduanya terikat oleh adat dan keinginan orang tua masing-masing.

Pesta pernikahan pun dilakukan dengan cara unik, diadakan secara terpisah di masing-masing wilayah. Setelah itu, Lamia harus berjalan sendiri melintasi perbatasan untuk tinggal dengan suaminya di kediaman keluarga baru. Bagi Lamia, dan bagi pengantin-pengantin lain, ini berarti meninggalkan keluarga dan masa lalu untuk seterusnya.

Namun Lamia menolak berhubungan dengan suaminya. Bahkan hanya untuk berbicara. Samy, sang suami, sebenarnya tidak terlalu keberatan. Setelah beberapa lama menjalani kehidupan yang janggal ini, Samy menawarkan pada Lamia untuk bercerai dan ia bisa kembali ke keluarganya. Lamia dihadapkan pada dilema. Ia tidak mencintai Samy, tapi kehidupan yang lebih modern di wilayah Israel membuatnya tidak ingin kembali ke desanya. Sementara itu, Lamia diam-diam jatuh cinta pada seorang pemuda Arab-Lebanon yang direkrut oleh Israel menjadi tentara penjaga perbatasan.

Film ini memang bercerita pada banyak dimensi. Ada cinta yang tidak pernah ada (antara Lamia dan Samy), juga sebaliknya ada cinta yang tidak seharusnya ada (antara Lamia dan Youssef, si tentara Israel berdarah Arab).

Film ini juga sekaligus mengangkat berbagai kompleksitas seputar pendudukan sebagian wilayah desa oleh Israel. Terutama mengenai persoalan identitas penduduk di wilayah yang terpecah. Bagian desa yang masuk ke wilayah Israel tampak lebih tersentuh pada modernitas (antara lain disimbolkan oleh perangkat komputer milik Samy dan kolam renang umum yang bisa digunakan bersama-sama oleh perempuan dan laki-laki). Sementara penduduk di sisi wilayah Lebanon menganggap bahwa saudara mereka yang ada di wilayah seberang sudah terpengaruh gaya hidup orang Yahudi, musuh mereka. Ini digambarkan oleh adegan ketika Mabruke mencoba menjelaskan apa itu 'toboggan' atau papan luncur/perosotan anak-anak) kepada saudarinya, Shirin. Dalam bahasa Arab, kosakata 'toboggan' tidak pernah dikenal. "Sekarang kau sudah berbicara seperti orang Yahudi," kata Shirin mencela saudarinya.

Problem identitas juga dihadapi oleh Youssef, si prajurit Israel. Bagaimanapun ia adalah orang Arab. Tetapi sebagai prajurit Israel, tugasnya adalah menjaga wilayah Israel. Meski untuk itu ia mungkin harus berhadapan, bahkan membunuh, saudaranya sesama orang Arab.

Problem mengenai status dan identitas, cintanya pada Youssef, impiannya untuk maju dan keluar dari kungkungan-kungkungan tradisi, seperti layang-layang yang terbang tinggi, bercampur baur dalam diri Lamia. Akhirnya, ia memilih jalannya sendiri. Ia memilih menjadi layang-layang bagi dirinya sendiri, terbang tanpa terhambat oleh kawat berduri yang membatasi wilayah kedua negara, juga oleh tradisi dan keinginan orang tua.

Bagi para penonton yang hollywood-minded tentu agak kecewa dengan ending film ini. Tapi bagi gw film ini menarik banget, setidaknya membuka wawasan gw tentang kehidupan di belahan dunia yang lain.

ps :
andai Mat***** dan Mer*** terpisahkan oleh pagar berduri dan dijaga oleh tentara perbatasan pun, gw akan tetap melewati itu semua dengan segala cara baik ilegal maupun legal, dan kalau legal tentu saja gw akan memilih cara yang pertama ;)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home