Monday, February 16, 2004

TULISAN MENYAKITKAN, JANGAN DIBACA, NANTI SAKIT HATI !!!

Tentu masih hangat di dalam ingatan kita saat para hakim agung meloloskan permohonan kasasi Akbar Tandjung. Hal yang sangat menyakiti rasa keadilan masyarakat. Tapi apa mau dikata, palu telah diketok dan hasilnya Akbar menang. Namun jika kita cermati, kemenangan Akbar sudah terlihat sejak di pengadilan negeri. Hakim kurang cermat dalam menelusuri soal dana yang disimpan Winfred di rumahnya. Hakim tidak menelusuri tentang Yayasan Radhunatul Jannah. Meski demikian hakim memutuskan Akbar bersalah, tapi Akbar pun dilepaskan dari tahanan. Dasar keputusan yang lemah tadi mudah saja dipatahkan oleh para hakim agung. Abdul Rachman Saleh sudah berusaha menelusuri hal-hal yg luput dari penulusuran hakim di tingkat I dan banding. Namun ia tak berhasil meyakinkan hakim-hakim agung yang lain.

Tim Akbar memang lihai memanfaatkan celah ini. Para pengacara Akbar (Atmajaya Salim dkk) tahu cara memainkan kartu untuk meraih kemenangan. Di putaran awal mereka sengaja mengalah agar argumen-argumen yang akan memojokan Akbar tidak terkuak. Publik yang dalam hal ini terpaksa diwakili oleh jaksa dibuat terlena dengan keputusan lemah yang menyalahkan Akbar. Ketika publik dan jaksa terseret dalam permainan lawan, barulah tim Akbar mengeluarkan kartu truf yang mengena. Lihai memang, selain menyogok para hakim, mereka pun lihai dalam menghindari serangan lawan. Para hakim agung akhirnya menilai bahwa keputusan hakim di tingkat I dan banding nyatanya lemah. Jika tidak kritis, tampaknya tak ada yang bisa disalahkan dalam kasus kemenangan Akbar.

Tapi apa boleh buat, semuanya telah terjadi. Kita hanya bisa mengambil pelajaran dari pengalaman menyakitkan ini. Kita harus sadar bahwa lain kali kita harus sangat teliti dalam berjuang. Kita harus tetap kritis dan taktis memainkan pertempuran untuk memenangkan peperangan.

Di sisi lain, pers seolah-olah termakan oleh kelihaian tim Akbar. Akbar sudah tahu kalau ia akan bebas, oleh karena itu ia menyiapkan sandiwara. Pers dipersilakan meliput kediamannya, sebab kalau akan divonis bersalah pasti akan menghindari media. Dengan brilian Akbar memanfaatkan istri dan anaknya untuk mencari simpati, siapa yang tidak terharu melihat kesedihan anak-anak dan istri akan nasib ayah dan suaminya.

Selanjutnya tinggal bagaimana Akbar berakting, pura-pura tegang dan gelisah, lalu membiarkan wartawan meliput. Celakanya hampir semua wartawan terpancing dan meliput secara simpatik terhadap Akbar.

Media tidak mengimbangi dengan liputan pembanding, misalnya bagaimana nasib rakyat miskin yang gagal mendapat bantuan dana non bujeter Bulog, karena dana itu diselewengkan untuk kepentingan Partai Golkar. Lalu kenapa media tidak kritis terhadap aliran dana Rp 40 milyar itu, lalu percaya saja omongan Winfred bahwa uang sebanyak itu disimpan di rumahnya dan bukan di bank? Media malah kurang kerjaan memintai komentar dari bakal capres lain dari Konvensi Golkar.

Tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa tanpa media masa kasus ini tidak akan terbongkar. Siapa yang mempublikasikan dua lembar cek kepada bendahara Golkar? Siapa yang menelusuri bahwa yayasannya Dadang Sukandar itu palsu? Media pulalah yang bikin Akbar kelimpungan menghadapi kasus ini, bukan karena jaksa, polisi maupun hakim.

Media masa di Indonesia memang sering melakukan kecerobohan bahkan kebodohan. Tetapi kalau mau adil dalam menilai, peran pers Indonesia cukup besar dalam usaha demokratisasi bangsa. Media berperan dalam memberikan informasi publik sehingga masyarakat bisa mengambil sikap tentang banyak hal.

Tetapi kita juga tidak boleh terlalu banyak berharap pada media masa. Tidak semua media memiliki tujuan demokratisasi bangsa. Banyak industri media hanyalah alat propaganda kepentingan tertentu, dan banyak orang yang bekerja di industri media hanya karena butuh pekerjaan dan mencari ketenaran (banyak temen gw yang ingin sekali jadi presenter tv).

Kasus Akbar banyak yang luput dari perhatian media masa. Mungkin ini penyakit orang Indonesia yang kurang cermat dan kurang konsisten. Namun bukan berarti pers tidak berbuat banyak, tanpa mereka kasus Akbar tidak akan terkuak. Liputan media soal Akbar boleh jadi menyebalkan. Tapi ini bisa menjadi semacam propaganda agar publik semakin membenci Akbar Tandjung dengan segala kelicikan dan tipu muslihatnya.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home